Onlenpedia.com | Ilusi, rupanya tidak hanya terjadi pada dunia sulap (magic). 'Ilusi' rupanya juga ada dalam dunia startup, di mana ada beberapa startup yang 'memainkan' sebuah 'ilusi' berjulukan 'valuasi tak nyata'.
Mengapa disebut 'valuasi tak nyata'?
Jawabannya sebab valuasi (nilai jual perusahaan) tak sebanding dengan profit yang didapat (bahkan tak sedikit startup yang terus merugi (secara rutin) justru memiliki valuasi yang tinggi).
Pada artikel sisi gelap urusan ekonomi online kali ini, admin akan mengangkat tema perihal 'ilusi valuasi startup' yang kadang tak masuk akal. Penjelasan selengkapnya, akan dipaparkan di bawah ini!
'Ilusi' valuasi startup yang tak masuk akal
Di mata orang-orang awam, startup raksasa lokal menyerupai Tokopedia, Bukalapak, dan Go-Jek merupakan perusahaan besar dengan laba yang besar pula. Umumnya memang menyerupai itu, bila perusahaan besar (dengan valuasi besar) selalu mengalami profit besar tiap periode. Namun kenyataannya justru tidak menyerupai itu.
Kalau kita berkaca pada perusahaan-perusahaan besar dalam 'ranah' konvensional, maka 'valuasi raksasa' mereka tergolong positif (real). Yang dimaksud real, sebab valuasi yang besar sebanding / sejalan dengan laba perusahaan.
Agar anda mudah memahaminya, admin mencontohkan perusahaan-perusahaan besar 'konvensional' dengan 'valuasi nyata', seperti:
- Indofood
- Mayora
- Djarum
- Avian
- Avian
dan perusahaan 'nyata' lainnya.
Contoh-contoh perusahaan di atas selalu menghasilkan profit, alias pendapatan yang lebih besar ketimbang beban operasionalnya. Maka dari itu, admin menyebutnya dengan istilah 'perusahaan bervaluasi nyata'.
Lantas, bagaimana dengan valuasi startup?
Sejauh ini, 'ilusi' valuasi startup memang tak diketahui orang banyak. Kebanyakan masyarakat melihat startup-startup besar sebagai perusahaan mapan, karena:
- sudah terkenal
- sering beriklan di TV
- brand yang kuat
- (terkadang) ada logo perusahaan yang terpampang di baliho di jalan raya
dan alasan lainnya.
Gara-gara 'imej' yang besar, membuat banyak orang 'tertipu' dengan kenyataan bahwa startup besar penuh dengan 'ilusi'.
Ketahuilah, admin berani mengatakan 'ilusi' valuasi startup sebab nilai jual (valuasi) startup tak sebanding/sejalan dengan profit perusahaan.
Melanjutkan pola startup yang dimaksud di atas, yakni Tokopedia, Bukalapak, Go-Jek, (dan startup lainnya), banyak orang yang tidak tahu bagaimana 'bisnis mereka bisa menghasilkan uang'. Promo harga murah, dan promo-promo 'tak masuk akal' lainnya sebetulnya bisa menyiratkan perihal 'darimana mereka menerima uang?, apakah mereka bisa profit?, dan pertanyaan-pertanyaan simpel lainnya.'
Berdasarkan fakta yang admin dapat dari banyak sekali sumber, hingga ketika ini startup raksasa menyerupai Tokopedia, Bukalapak, dan Go-Jek belum juga menerima profit. Mereka setiap tahunnya 'rutin' dan 'konsisten' mengalami kerugian dari urusan ekonomi mereka.
Bagi anda yang tak percaya, silahkan googling dengan kata kunci 'Tokopedia rugi, Bukalapak rugi, dan Go-Jek rugi'. Nanti anda bisa mengetahui data kerugiannya secara terperinci dan terperinci.
Maka dari itu, admin pun menyimpulkan bahwa VALUASI BESAR yang ada pada sejumlah startup tidaklah positif -- alias hanya ILUSI belaka.
Kalau belum profit, kenapa valuasinya begitu besar?
Kali ini yang kita contohkan ialah startup lokal dengan valuasi terbesar ketika ini yaitu Go-Jek. Pasca menerima pendanaan Rp 16 triliun dari raksasa internet China, yaitu Tencent, Go-Jek mengalami 'lonjakan' valuasi, yakni menjadi lebih dari Rp 40 triliun. Ya, valuasi (nilai jual) perusahaan yang didirikan oleh Nadiem Makarim itu kini berada di angka Rp 40 triliun yang notabene merupakan jumlah yang sangat besar. Sementara itu, (dari segi bisnis) perusahaannya justru merugi di setiap tahunnya -- yang justru tak sejalan dengan valuasinya.
Mengapa valuasi mereka bisa sangat besar?
Admin sendiri kurang begitu tahu perihal siapa yang memiliki wewenang untuk menentukan valuasi sebuah startup. Yang pasti, mereka tak sembarangan dalam menetapkan 'harga jual' startup, sebab bisa 'merusak' urusan ekonomi itu sendiri (kalau salah taksir).
Berdasarkan rujukan dari banyak sekali sumber, valuasi startup yang besar ditentukan oleh:
- Prospek startup untuk 5-20 tahun ke depan.
- Peningkatan jumlah pengguna yang cukup signifikan.
- Produk / layanan yang disediakan startup apakah akan berkelanjutan.
- Model urusan ekonomi yang digunakan, akan menguntungkan berkali-kali lipat (di kemudian hari).
- Profit (jangka pendek) sepertinya bukan penentu valuasi startup.
Kalau terus merugi (dalam perkembangannya), bagaimana startup-startup di atas bisa bertahan?
Ketika startup masih dalam tahap pengembangan, maka mereka masih mencari model urusan ekonomi yang sempurna untuk monetisasi mereka. Sebagai gambaran, Facebook saja butuh waktu bertahun-tahun untuk 'menemukan' model urusan ekonomi yang tepat. Sebelumnya perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckeberg itu kerap merugi setiap tahunnya -- bahkan selama 8 tahun berturut-turut. Dan sepertinya startup lokal mulai terinspirasi dengan Facebook, dan 'membiarkan' perusahaannya terus merugi -- demi menawarkan layanan terbaik yang diperlukan masyarakat.
Baca juga:
Lantas, bagaimana cara mereka 'bertahan hidup'?
Jawabannya adalah, dengan DANA INVESTOR.
Mayoritas startup yang 'mengejar valuasi' pasti disokong oleh dana besar dari investor. Mereka pun harus 'membakar' dana tersebut untuk membuatkan urusan ekonomi mereka, menyerupai mengadakan promo 'gila-gilaan', branding tanpa henti, rutin beriklan di televisi, dan seni administrasi marketing lainnya.
Kemudian, perlahan tapi pasti -- mereka menerapkan model urusan ekonomi mereka dan menghasilkan pendapatan meski belum bisa menutupi biaya operasional. Meski begitu, dengan adanya pendapatan tersebut -- setidaknya bisa mengurangi ketergantungan pada dana investor.
Apakah urusan ekonomi menyerupai ini sehat?
Kalau dilihat dari 'kacamata' founder startup yang bersangkutan dan para investornya, maka mereka menganggap bila urusan ekonomi mereka sehat-sehat saja (dan justru memiliki prospek yang rupawan di masa depan). Menurut mereka, yang penting menguasai pasar -- profit urusan nomor 2. Seandainya tak profit dan startup kehabisan dana -- mereka bisa melaksanakan IPO di lantai bursa. Seandainya IPO ditolak, mereka bisa 'melego' startup tersebut ke perusahaan lain semoga diakuisisi. (Biasanya yang ditawari ialah perusahaan yang menjadi pesaing utama). Intinya, urusan ekonomi mereka ke depannya bakal menjadi uang (tapi tak tahu kapan hal itu akan terwujud).
Baca juga:
Lantas, bagaimana menurut penilaian admin Onlenpedia.com?
Jujur, awalnya admin menilai bila urusan ekonomi dengan konsep menyerupai di atas sangatlah bagus. Mereka tak terlalu memperdulikan uang (di awal), tapi mereka ingin menawarkan layanan terbaik untuk masyarakat. Alhasil, banyak sekali promosi (yang kadang tak masuk akal) pun dilancarkan, yang tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit. Dan para startup dengan bidang sejenis bersaing dengan cara yang sama, yaitu 'bakar duit'.
Seiring waktu berjalan, admin pun mulai sadar dengan 'ketidak-beresan' bentuk urusan ekonomi tersebut. Apalagi setelah admin mendengar informasi hengkangnya salah satu co-founder Kaskus yaitu Kent, admin semakin yakin bahwa urusan ekonomi 'bakar duit investor' sangat tak masuk akal.
Ketahuilah, salah satu alasan Kent keluar dari Kaskus ialah sebab dirinya menyadari ada 'sesuatu yang salah' dalam industri digital, menyerupai 'ilusi valuasi', model urusan ekonomi yang tak kunjung menghasilkan profit, 'fake valuation' di lantai bursa, dan lain-lain. Kent pun akhirnya memutuskan untuk berbisnis di dunia nyata, yakni urusan ekonomi properti dan tambang -- sebab hasilnya lebih positif dan bisa diukur.
Jadi, senada dengan pendapat co-founder Kaskus, admin Onlenpedia pun menganggap bila urusan ekonomi 'bakar duit investor' ialah urusan ekonomi yang TIDAK SEHAT. Menurut admin, urusan ekonomi yang sehat itu ialah urusan ekonomi yang menguntungkan secara real, menyerupai urusan ekonomi yang dijalankan oleh Indofood, Mayora, Apple, Samsung, Honda, Ford, BMW, dan urusan ekonomi yang 'menjual produk nyata' lainnya. Atau bisa juga urusan ekonomi blog, Youtube, dan urusan ekonomi online lainnya yang berpotensi menghasilkan PROFIT.
Kalau menjalankan urusan ekonomi dengan 'bakar duit' -- sedikit-sedikit diskon, sedikit-sedikit promo, dan hal itu dilakukan semua kompetitor, alhasil tentu akan berakibat buruk bagi urusan ekonomi tersebut. Ada masa di mana uang investor habis 'dibakar', dan akhirnya ada startup yang mundur dari persaingan.
Baca juga:
Itulah ia pemaparan perihal sisi gelap urusan ekonomi online seri ke-5, yakni perihal 'ilusi' valuasi startup yang tak masuk akal. Bagi anda yang 'memandang' startup raksasa dari luarnya saja, maka selama ini anda sudah terkena sebuah 'ilusi'. Semoga artikel di atas bisa membuka mata anda, semoga semakin menjauh dari 'ilusi' tersebut, selain tentu menambah wawasan anda seputar dunia urusan ekonomi startup di Indonesia.
Comments
Post a Comment